Monday, November 29, 2010

Percikan denting


Uvi
Kediaman keluarga Dimitri memancarkan cahaya kebahagiaan dalam kemewahannya malam itu. Rangkaian bunga dalam vas kramik impor bertengger di setiap sudut ruang, warna-warni minuman dalam gelas-gelas kaca tersusun rapi bagai tumpukan batu menyusun piramida mesir, serta hidangan-hidangan pelengkap jua tak kalah istimewa dalam acara pesta kala itu. Mobil-mobil mewah yang berderet memenuhi halaman rumah yang lapang mengibaratkan diri sebagai rombongan semut yang berhasil menemukan lumbung gula. Memang, keluarga Dimitri amat pantas menyandang pengibaratan sebagai lumbung gula, tepatnya lumbung gula kosong yang nyaris roboh namun dengan beruntungnya ia akan segera bangkit dari ketidakberdayaannya ketika berhasil menjual sisa-sisa butir gula yang tercecer di tanahnya kepada seorang dermawan dengan harga mahal.
Sementara itu kediaman Hartandita, tempat sebuah keluarga berputra tunggal yang amat disegani makhluk-makhluk pebisnis itu tinggal tengah menyepi lantaran sang penghuni sedang menuju ke perayaan mereka yang tidak lain juga merupakan pesta keluarga Dimitri. Hanya ada beberapa orang kepercayaan berseragam satpam yang sengaja ditempatkan di sana untuk menjaga harta kekayaan mereka.
Nampaknya keluarga Dimitri amat bahagia menyambut kedatangan para anggota keluarga Hartandita.
“Sepertinya kita tidak perlu menunggu lama untuk melangsungkan acara pertukaran cincin,” terdengar suara Nyonya Dimitri di tengah-tengah pembicaraan dua keluarga yang berencana mempersatukan diri tersebut.
“Ya, saya rasa juga begitu. Lagi pula kan... kata orang dulu, tidak baik menunda-nunda sesuatu yang baik,” dukung Nyonya Hartandita.
Sementara itu tanpa khawatir derajatnya akan menurun, Tuan Hartandita sangat asyik berbincang dengan para pekerja rumah tangganya yang ketika itu ikut membantu melayani para tamu.
“Fallen, saya ingin kamu menyanyikan sebuah lagu untuk mengiringi acara pertukaran cincin anak saya,” pinta Tuan Hartandita kepada seorang gadis, putri kepala rumah tangganya.
“Ya, Tuan!” jawab Fallen lirih.
“Kau baik-baik saja, Fallen? Sepertinya kau nampak kurang sehat. Kalau kamu tidak bisa, tak masalah. Mungkin sebaiknya kamu istirahat!”
“Tidak, terimakasih Tuan! Kalau masih boleh, saya bersedia mengiringi acara tersebut,” gadis itu menawarkan diri.
“Tentu! Saya akan sangat senang sekali.”
Tuan Hartandita memang sangat simpatik kepada Fallen. Ia mengaguminya, apalagi jika Fallen memainkan piano besar di tengah istananya, boleh jadi ia telah jatuh hati dan menganggapnya seperti anak sendiri.
Seluruh keluarga dan tamu undangan bersuka cita memulai acara simbolik itu. Putra keluarga Hartandita, Geriand Hartandita, dengan putri keluarga Dimitri, Nastiti Paula, akan resmi bertunangan.
“There’s nothing I can do when you’re fading away
 There’s no chance to refuse your going
 Because that’s all your heart really need...”
Terdengar sebuah lagu dinyanyikan oleh sang pengiring untuk pertunangan tersebut. Tetesan air mengenai tuts piano yang sedang dimainkan. Lantunannya terdengar begitu indah tanpa ada seorangpun yang mengetahui seberapa keras ia mengusahakannya. Namun untunglah, tak seorangpun menyimak dan membahas kesesuaian isi lagu tersebut untuk dinyanyikan pada momen itu. Semua terfokus pada proses berjalannya cincin mengikat dua jari insan yang sedang kasmaran tersebut. Lagipula mereka hanya menangkap sisi harmoni yang kental pada irama lagu tersebut.
“You’re the only love in my sorrow
 And you’ve always been the man inside my heart
 You’ve always been the man inside my heart...”
Mereka semua bertepuk tangan. Berbahagia. Namun tidak sebahagia Geriand sang tuan muda dan Paula kekasihnya yang kala itu berhasil meresmikan hubungan mereka ke jenjang yang setidaknya lebih mengikat mereka atas nama cinta.
Fallen. Gadis ini ternyata menaruh rasa cinta yang teramat kepada tuannya. Perasaan nan tak patut ditindak, juga terlalu mengecewakan untuk berakhir semudah ini. Cinta untuk insan lain jenis ini terlampau sempurna untuk menjadi jawaban di dunia jikalau cinta memang terlahir atas nama ketulusan, pengorbanan dan kehormatan.
Selesai perayaan tersebut, keluarga Hartandita memutuskan untuk kembali ke kediamannya. Entah mengapa Nyonya Hartandita bersikeras untuk tidur di rumah besarnya sendiri malam ini. Padahal, keluarga Dimitri sudah menyiapkan kamar khusus untuk mereka bermalam. Sementara para pelayan, termasuk dari pihak Hartandita yang ikut membantu terpaksa bermalam di kediaman Dimitri karena kemalaman usai membenahi segala sesuatu pasca pesta.
*          *          *
Pagi yang tak begitu hangat nan masih gelap menghadiahkan pertunangan mewah tadi malam sebuah berita yang terdengar bagai dentuman piano rusak yang sengaja dibunyikan di waktu sunyi dalam istana kosong.
Mobil yang ditumpangi keluarga Hartandita hilang kendali dan menabrak dinding terowongan. Seluruh penumpangnya tewas, terkecuali........Geriand! Putra tunggal Hartandita yang kini menjadi pewaris tunggal tahta dan harta keluarganya berhasil lompat keluar dari mobil yang bernasib naas tersebut. Tubuhnya terpental dan terseret di aspal. Kini ia kritis. Kakinya patah dan ia mengalami kebutaan!!!
Nastiti Paula begitu shock mendengar kabar tentang kekasih hatinya tersebut. Tak lama pula untuk pecinta geriand yang sejati, Fallen, untuk mengetahui peristiwa tersebut.
Rumah sakit Umum di tengah kota menjadi wadah air mata bagi orang-orang teredekat keluarga Hartandita.
“Syukurlah, masih ada anggota keluarga yang selamat! Entah bagaimana jadinya kalau Geriand pun ikut tewas? Seluruh harta kekayaan mereka pasti jatuh ke tangan panti-panti,” ungkap Tuan Dimitri.
“Cukup, Ayah! Tega sekali dalam situasi seperti ini ayah lebih memikirkan harta yang bukan milik ayah dibanding berempati pada keadaan mereka!” Paula menghardik ayahnya. Ia belum berhenti menangis sejak ia mendengar kabar tentang kecelakaan itu.
Nyonya Dimitri melirik suaminya dan memberi isyarat agar ia lebih menjaga bicara.
Sementara itu, tak dapat terlukiskan sehancur apa persaan Fallen melihat kekasih hatinya dalam keadaan dan perasaan seburuk itu. Kalau saja bisa ia menggantikan Geriand untuk menanggung semua beban dan dukanya, itu mungkin akan lebih baik baginya.
*          *          *
Dua bulan berlalu meninggalkan peristiwa tersebut. Geriand kini pantas menyandang sebutan ‘pria kaya yang buta dan lumpuh’. Ia dirawat di rumahnya oleh orang-orang yang telah membantu keluarganya sejak dulu. Sementara itu keluarga Dimitri senantiasa membantu urusan perusahaan serta semua bisnis yang kini sepenuhnya milik Geriand.
Setidaknya sekali dalam seminggu, Paula tak pernah absen menjenguk tunangannya ke kediaman Hartandita. Bulan lalu ia hampir setiap hari menemani kekasihnya. Namun kini ia lebih sibuk mengurusi sebuah perusahaan properti milik Geriand. Namun bagi Geriand, Paula selalu ada buat dirinya setiap saat ia membutuhkan.
Terapi kaki Geriand terus memperlihatkan kemajuan hari demi hari. Meskipun hanya dilakukan di teras belakang rumahnya dan tak lagi dengan bantuan tenaga ahli, namun sekarang ia sudah mampu berdiri dibantu besi penopang.
“Paula..! Paula, lihat! Aku sudah bisa berdiri,” ucapnya gemetar.
“Hati-hati, Geriand!” gadis itu menperingatkan Geriand.
Tiba-tiba Geriand melepaskan besi penopang tersebut dan ia terjatuh. Seketika gadis itu mengulurkan kedua tangannya untuk menangkap tubuh Geriand agar tak jatuh terbanting. Sikunya pun terbentur lantai marmer dan terluka saat mencoba menahan Tubuh pria itu. Ia lantas memopong Geriand ke kursi rodanya.
“Maafkan aku, Paula! Kau tak apa-apa kan?” tanya Geriand merasa bersalah karena telah menyusahkan. Ia tak dapat melihat darah dari siku gadis yang terluka itu menetes ke kemejanya.
“Tidak, aku baik-baik saja. Kau bagaimana?”
“Aku tak apa-apa. Aku... aku selalu merasa nyaman bila kamu ada di dekatku.”
*          *          *
 “Paula, aku tidak yakin jika masih ada harapan untuk kumelihat lagi,” tutur Geriand di taman belakang. Wajahnya tampak begitu muram.
Ia bangun dari kursi taman tersebut dan berjalan ke suatu arah. Seminggu yang lalu ia sudah mulai bisa berjalan walau dengan menggunakan tongkat. Mungkin tinggal dalam hitungan hari atau paling tidak beberapa minggu untuknya bisa melepaskan tongkat penopangnya itu.
“Tak pernah ada kata mati untuk sebuah harapan. Aku jadi ingat sebuah kisah tentang seorang hamba sahaya yang selalu berharap mendapatkan cinta tuannya. Ia rela berkorban apapun asalkan ia bisa melihat tuannya bahagia. Tapi sayangnya, tuannya itu tak sedikitpun peduli padanya. Hatinya tertambat kepada wanita lain. Tapi terakhir kudengar, kini ia bisa selalu menemani tuannya, di saat tawa maupun duka.”
Sesaat Geriand tertegun. “Apa kaitan cerita itu denganku?”
“Mm… itu hanya salah satu gambaran bahwa harapan tak pernah hilang.”
Geriand tersenyum.
“Paula, apa kau mau menemaniku belajar membaca hari ini?” Geriand memang sedang mempelajari cara membaca huruf Braille.
“Tentu.”
Suasana hening seketika.
“Geriand, aku dengar... ada seorang dokter ahli mata dari Australia. Dia telah sekian kali berhasil dengan operasi yang dilakukannya. Aku bermaksud...”
“Tidak, Paula!” Geriand memotong. “Aku... aku takut ini hanya sia-sia.”
“Geriand!” Gadis itu balik memotong. “Satu-satunya hal yang ingin aku dapati di hidupku ini hanyalah kebahagiaanmu. Bahkan jika seandainya Tuhan mengijinkan, dengan senang hati aku ingin menggantikanmu menanggung kesakitan ini! Aku telah mendaftarkanmu sebagai salah satu pasiennya. Aku juga telah memberikan semua catatan medismu. Maaf, karena aku tak memberitahumu sebelumnya!”
“Paula, maafkan aku! Aku hampir saja menyia-nyiakan apa yang telah kamu usahakan untukku. Aku tak akan pernah rela kehilangan kamu,” ungkap Geriand sepenuh hati.
“Sudahlah, yang terpenting sekarang, kau harus menyiapkan dirimu untuk masa persiapan operasi.”
Geriand mengerutkan keningnya. Ia tersadar akan sesuatu.
“Tenggorokanmu masih belum sembuh, Sayang? Suaramu tidak lagi seperti dulu,” tanya Geriand beralih dari masalahnya.
“Hm... Benarkah? Ya, mungkin aku mesti lebih sering meminum penyegar.”
Geriand tersenyum.
“Suaramu membuatku ingat pada seseorang.”
“Oh ya? Siapa?”
Geriand terdiam sejenak kemudian ia menjawab. “Entahlah, aku tak ingat.”
.....................
“Kau tak mengingatku. Begitu mungkin untuk ketiadaanku di hatimu. Benarkah aku sangat tak berarti bagimu, Geriand? Seandainya kau mengenal diriku sejatinya, aku yang akan selalu ada menjagamu tanpa harus memiliki alasan mengapa kau kucinta? Sementara itu aku terus mencundangi diriku dengan menggantikan cinta dalam hari-harimu tanpa ada yang tahu jika aku hanyalah seorang PEMBANTU! Ya, aku hanyalah FALLEN si pembantu! Aku yang setiap saat bisa terjatuh karena terpisah darimu,” jerit gadis itu dalam hati.
*          *          *
Suara langkah kaki Fallen tak begitu jelas terdengar saat ia berjalan menuju kamar tidurnya. Ia tersentak saat lengannya ditarik paksa oleh sesorang yang ia amat kenal.
“Nona Paula?”
“Kau pasti senang bisa terus bersama-sama kekasihku sepanjang hari?”
“Apa maksudmu, Nona?” tanya Fallen yang sebenarnya mengerti apa maksud Paula.
“Jangan menunjukkan wajah lugumu! Kau pikir aku tidak tahu kalau kau menyukai majikanmu sendiri? Calon suamiku! Dan, apa kau pikir aku tak tahu kalau kau menggunakan namaku untuk mendekati Geriand?”
“Apa itu salah, Nona? Bukankah akan lebih salah lagi jika Tuan Geriand tahu jika wanita yang selama ini menemaninya bukanlah Nona?”
“Jadi… kau merasa jika Geriand akan mencintaimu jika dia tahu kalau kau amat mencintainya? Tidak, Fallen! Dia mencintaku, amat… sangat…!”
“Aku juga mencintainya. Dan aku akan pergi sekarang juga jika Nona menginginkan itu.” entah angin apa yang membuat nekad gadis yang sebenarnya hanya seorang anak pembantu ini berbicara lancang kepada orang yang cukup punya kuasa untuk memecatnya.
“Ayolah, Fallen! Jangan membuatku berpikir seolah hidupmu telah hancur hanya untuk mencintai Geriand! Kau tidak perlu membuktikan pengorbanan cintamu di hadapanku!”
“Ini bukanlah pengorbanan cinta, Nona! Ini hanyalah pengabdian seorang pembantu,” Fallen menenggelamkan citranya kembali.
“Bagus! Tapi aku tak ingin kau pergi sekarang. Aku ingin kau datang di hari pernikahanku nanti, mengiringi perayaan dengan sebuah lagu seperti pada saat pertunanganku. Setelah itu, baru kau boleh pergi. Bahkan harus!” ucap Paula terakhir sebelum ia pergi meninggalkan Fallen tanpa pamit.
*          *          *
Kamar itu adalah kelas utama di rumah sakit ini. Dipersiapkan memang untuk pasien seberada Geriand. Operasi akan dilaksanakan sore ini. Nastiti Paula ataupun keluarga Dimitri berencana akan datang siang nanti seusai mereka menyelesaikan urusan bisnis yang menyita waktu mereka setiap hari.
Fallen datang menemui Geriand pagi harinya.
“Paula, jika operasiku berhasil, orang yang pertama kali ingin kulihat adalah kamu. Ya... tentunya selain dokter!”
“Ha...ha!” tawa Fallen tipis dan singkat. Tawa itu sama sekali tak bisa menutupi sendu hatinya. “Tentu itu akan terjadi seandainya kau sembuh nanti. Karena aku tidak lagi akan di sini,” pikir Fallen kemudian.
“Sayang, entah mengapa aku merasa akan kehilangan sesuatu. Semoga itu bukan kesempatanku untuk sembuh!” Geriand membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi padanya apabila ia menjalani operasi ini.
“Apa yang kamu bicarakan? Kamu akan sembuh, Geriand!” Fallen berusaha membangun semangat Geriand. “Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Tapi kau harus membacanya sendiri,” alihnya.
“Baiklah, mana yang harus kubaca?”
“Tunggu sebentar!” Fallen menyambung puzzle plastik yang bercetakan sebuah huruf Braille tiap kepingnya. Ia lantas memberikannya pada Geriand.
Geriand  meraba setiap huruf yang timbul dalam susunan itu.
“Aku…hanya…bisa…mencintaimu...” Geriand membacanya sedikit demi sedikit. “Paula...!” panggilnya lirih. Geriand sungguh luluh dan terharu mengetahui isi hati gadis yang dalam sepengetahuannya adalah tunangannya, Paula.
“Geriand, aku ingin memeluk kamu, kali ini saja!”
Tanpa jawaban sepatah kata pun dari Geriand, Fallen langsung memeluknya erat. Ia menangis karena ia tahu jika ini adalah kali terakhir ia bisa berada di sampingnya. Suatu hal yang sangat menyakitkan saat cinta tak pernah memihak. Bahkan keadaan dan waktu sekalipun tak ingin menolong si pencinta untuk dapat mencintai.
“Mengapa kau menangis?”
Fallen tak menjawab. Ia melepaskan pelukannya dan bergegas mengambil sesuatu di atas meja.
“Aku membelikanmu sepatu kets. Setahuku, kau sangat suka mengoleksinya. Kalau kau tak menyukainya, terserah mau kau apakan.”
“Terima kasih, Sayang! Warnanya apa? Aku jadi penasaran dan ingin cepat memakainya!”
“Abu-abu tua.”
“Sudah lama aku memesan warna itu di tempat langgananku tapi mereka tidak juga mengirimnya. Sekali lagi, terimakasih!”
“Geriand, aku harus pergi sekarang...”
“Kamu mau kemana?”
Fallen tak mungkin menjawab pertanyaan itu. Ia mengecup kening Geriand perlahan lalu pergi meninggalkannya.
 *         *          *
Pesta pernikahan dua sejoli yang tak terpisahkan itu dilaksanakan di taman belakang yang luas dan sejuk. Seorang pengusaha muda yang kaya akhirnya bersatu juga dengan cinta sejatinya yaitu putri keluarga Dimitri, Nastiti Paula.
Pernikahan tersebut telah dinyatakan syah. Terdengar bunyi dentingan dari piano putih yang selaras dengan kursi serta dekorasi pelaminan bernuansa putih dalam agungnya sebuah pernikahan. Seorang wanita duduk memainkan piano yang ditaruh di sudut kanan podium hingga terkesan membelakangi pengantin dan para tamu undangan.
“There’s nothing I can do when you’re fading away
 There’s no chance to refuse your going
 Because that’s all your heart really need...
 I’d be anything you want
Dying for the better life without you… is a piece of sacrifice I would do
 You’re the only love in my sorrow
 And you’ve always been the man inside my heart”
Sang pengantin pria mengecup lembut kening mempelai wanitanya disaksikan oleh sekian pasang mata, bersamaan dengan terperciknya tetesan air ketika jatuh di atas tuts piano. Setegar mungkin gadis yang tidak lain adalah Fallen tersebut menyanyikan sebuah lagu untuk mengiringi kebahagiaan mereka, menahan gemetar karena tangis dan kesedihan. Lantunan, denting, serta percikan air mata bersatu dalam restu setengah hati yang menjadi sebuah hadiah pernikahan.
“You’ve always been the man inside my heart...”
*          *          *
Malam itu begitu dingin. Gerimis mulai menyerbu setitik demi setitik. Fallen berjalan di atas loteng sebuah losmen dimana ia tinggal sekarang.
“Aku tak tahu lagi bagaimana kesedihan akan tersapu? Aku juga tak tahu dimana tempat menemukan kau dan aku bersatu? Aku terjatuh atas nama cinta, yang tercipta bukan atas nama waktu, melainkan ketulusan dan suatu hal yang mereka sebut alasan.”
Ia melangkah di atas sebuah kerangka besi bekas papan reklame di atas gedung minimarket di seberang yang roboh menimpa losmennya dan telah lama dibiarkan seperti itu. Meskipun besi itu bisa menghubungkan dua bangunan tersebut, namun belum pernah ada yang berani menggunakannya sebagai jembatan lantaran besi-besinya sudah keropos.
Fallen bagai kehilangan pikirannya. Bahkan orang-orang lebih sering menyebut tingkahnya ini sebagai kegilaan. Ia berjalan hingga ke tengah besi, berdiri di antara bangunan losmen dan minimarket. Ia lalu duduk dan menjuntaikan kakinya ke bawah.
Gerimis kian menyerupai hujan.
“Kubiarkan hujan menghapus kesedihanku. Agar aku dapat terbangun dari mimpi buruk ini, yang membuatku tak mampu memimpikan hal lain selain engkau” Fallen terus berkata-kata sendiri.
Seorang pria datang menghampirinya dari arah losmen. Ia berdiri di ujung jembatan papan reklame sambil menatap Fallen. Gadis itu pun balas menatapnya dan tersenyum kecil menyambut kedatangannya. Pria itu melepas sepatu kets abu-abu tuanya dan berjalan menghampiri Fallen.
~THE END~

No comments:

Post a Comment