Monday, November 29, 2010

Bukan Cinta Mati Standar


Uvi Rika Mustika
Bondan…
Aku terus memerhatikannya. Sepanjang perjalananku tak pernah aku berhenti memikirkannya meski tak seorangpun tau hal itu, karena tak akan pernah kubiarkan.
Aku dapat melihat matanya dari kaca spion. Pandangannya lurus dan tetap saat menyetir. Aku mendapati kekosongan hatinya dari tatapan itu. Dan dapat kupastikan itu karena aku.
Hawa pegunungan mulai kucium. Aku masih meladeni canda gurau gadis yang duduk di samping kananku, Lasya. Ia menyukaiku sejak lama, dan dia berhasil memperoleh kenangan dan waktu bersamaku jauh lebih banyak dari seseorang yang sedang menyetir yang sejak tadi kuperhatikan.
“Fer, kurangin kecepatannya dong, anak-anak dibelakang belum keliatan tuh!” ujar Sanny yang duduk di samping bangku supir.
Kurasakan Ferisha mengurangi kecepatannya. Kebetulan saat itu mobil yang kutumpangi sedang melewati tikungan yang amat curam. Hingga mobil yang ditumpangi Deni, Melisa, Desi, Merin dan Yeni itu terlihat, kecepatan mobil kembali dinaikkan. Sementara itu, Boma yang duduk di samping kiriku masih larut dengan musik-musik di MP3 playernya.
Lima belas menit kemudian, kami sampai di halaman vila. Aku langsung keluar dari mobil. Kuhirup dalam hawa sejuk kampung halaman Ferisha. Tiba-tiba seorang pria berumur tak jauh diatasku muncul dari halaman samping vila. Aku tak mengenalnya, tapi mungkin Ferisha tahu.
“Bondan, bantuin gue ngeluarin barang-barang dong!” pikiranku buyar oleh suara Lasya.
“Oh, iya.” Jawabku sambil menghampirinya ke belakang mobil. Kulihat pula mobil yang dibawa Deni baru selesai diparkir.
Ferisha baru keluar dari mobil. Entah apa yang dilakukannya dahulu dalam mobil. Aku melihat ke arahnya sambil membawa koper milik Lasya ke depan pintu vila. Dan ia pun menatap mataku sesaat.
Semua teman-temanku pergi entah kemana. Mereka langsung berpencar menikmati alam yang jarang mereka temui di Jakarta. Tapi mungkin Lasya tak begitu tertarik. Ia lebih senang mengawasi gerakku dari depan pintu vila yang telah dibuka oleh pria asing yang kulihat tadi. Kukeluarkan koperku dari dalam bagasi. Kusadari Ferisha mendekatiku. Mungkin ia hendak mengambil kopernya juga. Kubantu ia mengeluarkannya.
“Bond,” kudengar Ferisha memanggilku namun tak kugubris. Aku takut itu hanya perasaanku saja.
“Bondan,” kali ini kuyakin dia benar-benar memanggilku. Aku menoleh padanya. “Gue perlu ngomong sama lu,” Lanjutnya.
“Ngomong apa?” aku masih pura-pura bodoh seperti biasanya.
Ferisha tak dapat menjawab tanyaku. Aku tahu ia lelah dengan semua perlakuanku padanya. Lantas ia pergi meninggalkanku dengan membawa kopernya. Aku berniat memanggilnya, namun lelaki asing itu mendahuluiku.
“Fer!” pria itu berlari menghampiri dan memeluknya. Dia terlihat seolah akrab sekali dengan Ferisha, atau mungkin hanya sok akrab! Terlihat sekali jika ia kangen berat pada gadis yang selama ini hanya mencintaiku itu. Ah! Apa yang kupikirkan? Bukankah ini yang selalu kuinginkan? Cinta Ferisha yang selama ini hanya untukku jatuh ke hati lain.
“Revand? Gimana kabarnya?! Ya ampun, lu beda banget!”
“Mm.. makin gak banget. Ha..ha..!”
Mereka bersenda gurau. Revand, kuharap pria inilah yang bisa membuka hati Ferisha kali ini.
*
Vila ini bersebelahan dengan rumah pengurusnya. Mereka adalah Bu Dharma dan Pa Tasam yang baru saja dikenalkan Ferisha padaku dan yang lainnya. Dan pria yang bernama Revand itu adalah kemenakan mereka, sekaligus teman kecil Ferisha.
Mereka memang begitu akrab. Sore itu kulihat dari atas balkon samping kamarku, mereka sedang bermain pedang di halaman belakang. Pedang-pedang itu tak sulit mereka dapatkan lantaran Pak Tasam ialah seorang seniman penempa besi. Aku melihat tawa lepas Ferisha ketika ia berhasil menghunuskan samurainya di leher Revand dan pria itu berlagak momohon ampun padanya. Ia memang wanita yang mengagumkan. Namun ia tak ditakdirkan untukku.


*


Aku sengaja melintasi Ferisha yang sedang duduk sendirian di ruang tengah. Dia pasti akan memanggilku dan meminta waktu padaku untuk berbicara. Dan benar saja apa yang kupikirkan.
“Bondan, gue mau ngomong,” kudengar suara dingin Ferisha memanggilku.
Aku langsung duduk di sampingnya. Entah kenapa kali ini aku luluh dalam menjalani takdirku. Karena sesungguhnya inilah yang aku inginkan, selalu berada di sampingnya.
“Gue cuma pengen tanya sama lu, kenapa...”
Aku tau ia tak bisa mengatakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku hanya bisa menatap matanya yang tak juga lepas menatapku. Namun tiba-tiba ia datang kembali, rasa sakit yang memaksaku untuk menjauhi Ferisha. Kutahan rasa sakitku dengan mengusap-usap dadaku perlahan agar tidak membuatnya curiga.
“Duh, Fer, sorry ya! Gue lupa, tadi gue udah janjian sama Lasya mau benerin gelang dia sore ini. Gue gak enak, soalnya gue yang ngerusakin.” Aku beranjak meninggalkannya. “Gue gak lama kok. Kalo mau, lu tunggu disini aja,” ujarku sebelum meninggalkannya.
“Bond!” Ferisha memanggilku lagi. Aku menoleh sambil menahan rasa sakit ini. “Lu gak apa-apa?”
Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku, lantas ku bergegas menuju kamarku di lantai atas.
Kubuka pintu kamarku, untunglah Boma dan Deni yang saat itu menjadi teman sekamarku sedang tak berada di sana. Aku mencari-cari obatku di dalam tas, namun aku tak menemukannya. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamarku.
“Pasti kamu belum minum obat!
Kulihat botol pilku ada dalam genggaman perempuan itu. Ternyata Lasya yang mengambilnya. Tak lama kemudian ia memberikannya padaku.
Sekitar satu jam setelah meminum obat itu aku merasa baikan, entah hanya karena sugesti ataukah tubuhku benar-benar merasakannya. Lantas aku berencana menemui Ferisha kembali, namun Lasya menahanku.
“Gue tau apa yang lu lakuin tadi di ruang tengah. Jangan tolol, Bond! Kalo lu nemuin dia, berarti lu memupuk harapan kosong lagi buat dia.”
Lasya benar. Gue harus bisa nahan hati gue. Gue gak mau dia ngerasain perihnya suatu kehilangan pada saat waktunya tiba.
“Udah deh, mending sekarang lo temenin gue ke peternakan. Gue mau minta tolong lu buat ngajarin gue nunggang kuda.”


*


Lasya menungguku di halaman belakang Vila. Aku turun dari kamarku dan kembali melewati ruang tengah. Ternyata Ferisha masih menungguku di sana. Aku pura-pura tak menyadarinya.
“Bond!” panggil Ferisha.
Aku berhenti.
“Apa sekarang kita bisa ngomong berdua?”
“Duh, sorry banget ya, Fer! Gue sama anak-anak mau jalan ke peternakan. Mumpung masih sore.”
“Oh, Ya udah.”
Aku melihat gerakan air yang begitu ingin keluar dari matanya. Namun sekuat hati ia menahan tetesan itu agar tak terjatuh.
“Lu gak apa-apa kan?” ujarku.
“Tiga tahun gue nunggu lo tanpa kesempatan. Sekarang, gue rasa satu jam doang gak akan ngebunuh gue.”
Ferisha lantas berlari keluar vila meninggalkanku. Hatiku menangis mendengar hal itu terucap dari bibirnya. Batinku pun tersiksa melihatnya mencintaiku.


*


Malam itu hujan lebat. Teman-temanku sedang asik menonton acara televisi sambil menikmati makanan dan minuman ringan. Aku hanya duduk di sofa sambil mendengarkan musik dengan headset di kedua telingaku.
Kulihat Deni baru saja turun melalui anak tangga. Kalau tidak salah, Ferisha juga ada di lantai atas, di kamarnya. Ia menatapku sekilas. Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku cemas bila melihat Deni. Bukan karena ia orang jahat, tapi aku merasa ia tahu sesuatu tentangku, tentang penyakitku! Dan aku tahu jika ia cukup dekat dengan Ferisha, karena itulah aku takut dia memberitahu Ferisha tentang hal yang selama ini aku sembunyikan. Tapi mungkin itu hanyalah rasa ketakutanku yang berlebihan.
Tiba-tiba aku mendengar sekilas obrolan teman-temanku yang membawa-bawa nama ‘Ferisha’. Aku mematikan musik yang sedang kudengar, namun headsetnya tak kulepas dari telingaku.
“Eh, kok Ferisha jarang banget gabung sama kita ya?” tanya Melisa, gadis yang selalu berbicara dengan gaya polosnya. Ia adalah kekasih Deni.
“Lis…Lis…, lu kok sempet-sempetnya sih mikirin dia. Kalo gue sih bodo amat!” jawab Boma dengan gaya yang selalu menyebalkan. Tapi untunglah aku dan teman-temanku bisa memaklumi sikapnya.
Kudengar Desi, gadis yang paling tinggi hati yang pernah ku kenal itu menyambung jawaban Boma.
“Ya… kalian kayak yang ga tau aja. Dia pastinya bakal sakit hati melulu kalo gabung sama kita. Soalnya, dia harus ngeliat Lasya sama Bondan mesra-mesraan.”
Aku melihat tatapan sinis Sanny dan Merin yang tak lain adalah sahabat-sahabat Ferisha.
“Ya… asal jangan khilaf aja kita ini lagi liburan di vila siapa?” Merin bicara sinis.
“Maksudnya apa nih…?” Yeni yang berada di pihak Desi menyindir balik Merin.
“Udah deh, jangan diterusin! Kita kan datang kesini mau refreshing, jadi gue rasa gak perlu lah ada tegang-tegangan kayak gini. Lagian Ferisha tuh dari tadi di kamar aja lantaran dia lagi kecanduan chatting.” Deni melerai mereka.
Kurasakan keheningan sesaat. Hanya ada desir angin yang bersatu dengan gemuruh hujan berkoar-koar ketika itu. Tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka yang sedikit mengejutkanku dan teman-temanku.
“Aaa…!” teriakan manja Desi semakin menakutiku.
“Maaf, maaf, gue gak bermaksud ngagetin kalian!”
Ternyata itu Revand. Pasti dia kesini untuk menemui Ferisha.
“Ah, lu gak usah minta maaf segala lagi! Lagian kita gak kenapa-kenapa kok! Mm… by the way, lu ujan-ujanan ya? Badan lu sampai basah kuyup gitu. Gue ambilin handuk ya?” dapat kulihat gelagat Desi sedang mencari perhatian pria itu.
“Ehm…!” Lasya pun memperlihatkan dukungannya dengan berpura-pura batuk.
“Eh, gak, gak usah, Des. Mm… Ferisha mana? Kok gak keliatan?” Pria itu sama sekali tidak mengenal basa-basi.
Untuk apa malam-malam begini dia mencari Ferisha? Ternyata dugaanku benar jika ia memang menyukai Ferisha. Aku tak suka caranya yang terlalu to the point! Ya Tuhan! Kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah itu yang selama ini ku ucap dalam doaku?
Kebahagiaannya dengan pria lain. Mengapa semakin dekat waktuku meninggalkannya, semakin berat aku merelakannya untuk hati lain?
“Vand, Ferisha lagi ada di kamar. Gue bisa anter lu kalo lu mau mau ketemu dia,” Sanny menawarkan bantuan.
“Iya. Maaf ya, gue jadi ngerepotin.”
Mereka menaiki tangga menuju lantai atas. Sementara aku hanya diam diantara teman-temanku yang tak pernah mengerti aku. Tapi aku tak bisa terus begini. Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di lantai atas. Akhirnya kuputuskan untuk melihat mereka.
“Guys, gue tidur duluan ya. Ngantuk nih!” aku membuat alasan agar ku bisa pergi ke lantai atas menyusul mereka.
“Yah… ga asik banget sih lo? Cemen!” tanggapan Boma sama sekali tak ku hiraukan.
Di atas, aku melihat Sanny sedang berbicara di depan kamar Ferisha yang kebetulan bersebelahan dengan kamarku. Mereka tak menyadari kedatanganku. Kemudian aku bersembunyi di balik pintu kamarku dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Ferisha gak mau gue temenin karena dia gak mau orang-orang tau kalo dia lagi sakit. Vand, gue sedih banget ngeliat dia. Dia memang masih hidup, tapi gue ngerasa kalo jiwanya udah mati
,” tutur Sanny dengan wajah muram.
“Memangnya apa yang udah bikin dia kayak gini?”
“Cinta. Cinta, Vand. Cintanya gak terbalas, cuma itu yang gue tau. Gue tau lo sayang sama dia. Maka dari itu, gue harap lo bisa ngobatin hatinya.”
Ku lihat Sanny pergi meninggalkan Revand. Tak lama kemudian Revand masuk ke kamar Ferisha. Aku melangkah keluar dari kamarku dan mengintip mereka lebih dekat. Ku lihat tubuh Ferisha terbaring diselubungi selimut hangat. Ia terbangun duduk ketika melihat Revand masuk ke kamarnya.
“Udah Fer, kamu gak usah bangun. Sorry, aku udah ganggu kamu!”
“Nggak, lagian aku juga belum tidur kok.” Suaranya parau.
Aku selalu melihatnya, kesenduan yang kental di mata gadis yang kucintai. Revand menempelkan punggung tangannya di kening Ferisha.
“Ya ampun! Badan lu panas banget, Fer!”
“Vand, Vand! Please, lu ngomongnya jangan keras-keras! Gue gak kenapa-kenapa, dan lu gak usah khawatir.”
“Gak usah khawatir gimana? Gue takut terjadi apa-apa sama lu, Fer.”
“Lu mau bantu gue, Vand?” Ferisa bertanya lirih.
“Pasti, Fer. Karena gue sayang sama lo.”
“Kalo gitu, lu temenin gue disini ya? Gue butuh orang untuk dengerin gue ngomong.”
Hatiku teriris melihat keadaan Ferisha. Dia seperti kehilangan semangat hidupnya. Terbaca jelas dari nada bicaranya yang datar dan lemah. Dia tak seperti gadis yang kukenal saat pertama bertemu. Dan ini semua karena aku!
“Gue sendirian, Fan. Yang gue tau, semua keinginan gue cuma mencintai dia. Meski gue harus mati untuk ngedenger dia cinta sama gue. Terkadang gue ngerasa jadi orang yang paling gak berarti dalam kehidupan gue sekarang. Dalam hati, gue yakin kalo dia juga cinta sama gue, dengan cinta yang sama besarnya seperti cinta gue. Bahkan dalam kematian, cinta kita akan tetap hidup. Tapi malam ini gue menemukan suatu kebenaran. Dia memang ga pernah cinta sama gue.”
Aku tak begitu mengerti dengan apa yang diucapkannya. Kulihat air mata tak juga berhenti menetes di pipinya. Oh Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi dalam hidupku yang tak lama lagi? Mengapa kau anugerahkan cinta sebesar ini untukku sedangkan aku harus meninggalkannya?
“Tenang, Fer. Lu gak sendirian. Masih ada gue yang sangat mencintai lu, juga temen-temen yang sayang sama lu. Kita jangan ngomongin soal kematian aja, ya! Serem ah, dengernya.”
Aku tau Revand sedang menyatakan cintanya pada Ferisha. Namun saat itu Ferisha seperti sedang tak ada dalam raganya. Aku takut! Aku takut dia gila akan kecintaannya padaku. Oh, Tuhan, aku mohon lidungilah dia! Aku begitu mencintainya!.
Aku juga tak sadar beberapa lama karena terbawa pikiranku. Tiba-tiba kusadari Revand hendak keluar dari kamar itu. Aku segera bersembunyi ke kamarku. Beberapa saat setelah itu, entah apa yang membawa langkah kakiku masuk ke kamar Ferisha.
“Fer!” panggilku lirih
“Bond…?”
Ferisha langsung berlari ke arahku dan memelukku. Kurasakan hantaran suhu badan yang amat tinggi melalui tangannya.
“Bond, gue mohon, biarin gue meluk lu kali ini! Demi Tuhan, gue cinta sama lu! Gue cuma minta kesempatan buat ngomong sama lu…”
Ferisha berkata sambil menangis keras. Aku luluh dan malah balik mendekapnya. Ia tak tau air mataku menetes di rambutnya. Lantas aku ingat lagi pada hatiku, pada penyakitku, usiaku, serta semua hal yang membuatku terpaksa menyakitinya.
Aku melepaskan pelukannya.
“Sorry, Fer, gue ga bisa. Lu tau gimana isi hati gue. Gue gak mungkin cinta sama lu! Lagian lu mau ngomongin apa lagi sih? Paling hal yang itu-itu juga kan?! Lu cuma mau ngasih tau kalo lu cinta sama gue? Gue udah tahu! Tapi gue harap lu juga ngertiin gue, karena gue juga punya hati yang bisa jatuh cinta sama orang lain.”
Aku langsung meninggalkannya. Dan aku sungguh benci apa yang aku lakukan.


*


Ferisha…
Aku hanya mencintainya, Tuhan. Dan aku sama sekali tak berniat membebaninya dengan cintaku. Inikah yang kau takdirkan padaku? Bahkan cintaku sendiri tak ingin mendengarkan penjelasanku. Atau mungkin ia telah jenuh mendengarkan pernyataan cinta dariku? Dan gambar yang diberikan Deni semalam…
“Hhhh…!!!” aku terbangun dari mimpiku. Kulihat orang-orang mengitariku, rasanya masih seperti mimpi.
Sanny, Melisa, Deni. Merin, Lasya, Revand, Yeni, Desi. Kulihat mereka dalam redup mataku. Tapi aku tak melihat tanda-tanda keberadaan Boma dan… Bond…!
Aku merasakan kegelisahan yang besar dalam hatiku. Melesat sesaat, namun mampu membangunkan ragaku yang lemah bagai kerasukan.
“Bondan…!” nama itu yang tiba-tiba terucap dari bibirku. Dan entah kekuatan apa yang membawa tubuhku yang lemah bangkit dan kemudian berlari ke balkon melalui pintu samping kamarku yang terbuka.
“Ferisha!” kudengar teman-temanku terkejut akan gerak tubuhku yang sama sekali tak mereka duga.
Bukan hanya mereka, bahkan akupun tak benar-benar sadar dengan apa yang kulakukan. Ada segumpal emosi yang mengajakku untuk menjatuhkan diri dari balkon itu, seolah Bondan ada di bawah sana dan aku harus mengejarnya. Aku sama sekali tak ingin menyangkalnya.
Seseorang merangkul dan memegangiku dari belakang ketika aku menunggu waktu untuk terjatuh.
“Bond… Bondan…!!!” aku berteriak-teriak sambil terus menubruk-nubruk pagar balkon seperti orang gila.
“Fer, tenang, Fer! Lu jangan kayak gini!” terdengar suara yang sepertinya tak asing bagiku. Itu suara Revand. Ternyata ia yang dari tadi memegangiku.
Kemudian aku tersadar sesaat. Kenapa gue jadi kayak gini? Kenapa gue jadi kayak orang gila? Gila…? Oh, Tuhan, apa benar aku sudah gila? Nggak, nggak mungkin gue gila! Gue masih inget nama gue Ferisha, dan Bondan nama pria yang gue cinta. Jadi, gue pasti masih waras.
Lamunanku itu membuatku terdiam dan sedikit tenang. Revand membawaku masuk kembali ke kamarku. Aku duduk di pinggir ranjangku. Sanny memberiku segelas air putih yang membuatku semakin tenang.
“Di-dimana Bondan?” tanyaku gemetar.
“Fer, lu harus tau sesuatu. Sebenarnya…” tutur Deni.
“Gue udah tau. Ini tentang Bondan kan?” aku menyambarnya.
“Iya, tapi…”
“Den, biar gue aja yang ngejelasin,” potong Lasya yang saat itu duduk di kursi dekat jendela.
“Maafin gue, Fer…!” lanjutnya sambil tertunduk menangis.
“Lu gak perlu minta maaf. Gue yang salah. Harusnya gue sadar dari dulu kalo misalnya
Bondan hanya mencintai lu.” tanyaku diiringi gertakan.
“Nggak, Fer, Bondan hanya cinta sama lu.”
“A-apa? Kenapa lu ngomong kayak gitu? Jelas-jelas selama ini Bondan lebih peduli sama lu. Dan… gambar itu…” aku segera mencari gambar yang diberikan Deni semalam. Aku menemukan kertas bergambarkan lambang cinta dan kepiting simbol suatu zodiak itu di balik selimutku. “Den, semalam lu ngasih gambar ini ke gue. Lu bilang ini gambar tentang Bondan. Loving cancer. Ini pasti ngegambarin perasaan cinta Bondan sama cewek yang bintangnya cancer kan? Dan cewek itu pasti Lasya!”
“Lu salah, Fer. Maksud gambar yang gue buat itu sebenarnya adalah heart cancer. Kanker Hati!” jelas Deni.
“Bondan mengidap kanker hati, Fer. Hidupnya gak akan lama lagi,” sambung Lasya.
Ucapan Lasya yang terakhir kudengar terasa seperti titik getir yang menyerang lemah batinku, hingga ku tak lagi sungguh menyadari apa yang kudengar dan kusentuh. Lututku terasa lemas hingga aku terduduk jatuh dekat tempat tidurku. Tubuhku dipeluk sahabatku yang berempati padaku. Dan ucapan Lasya terus terdengar berulang-ulang dalam telingaku.
“Dia gak ingin lu sedih kalo dia meningal nanti. Makanya dia selalu nolak lu dan memilih untuk nyakitin hati lu sekarang daripada nanti lu kehilangan dia selamanya,” terang Lasya.
“Dan gue memang egois, gue manfaatin hal ini untuk bisa deket-deket sama Bondan, supaya gue bisa menghabiskan waktu sama dia lebih lama ketimbang lu. Maafin gue, Fer!” sambungnya dengan dengan penuh penyesalan.
“Lu jahat, Sya! Lu egois!” emosi Merin terpancing mendengar penjelasan Lasya.
“Mer, lu ga bisa nyalahin Lasya kayak gitu! Lagian ini kan bukan salah dia!” Desi membela sahabatnya tersebut habis-habisan.
Kenapa mereka harus bertengkar di saat seperti ini? Mungkin selama ini Lasya memang salah, tapi aku sedikit mengerti bagaimana perasaannya.
“Hentikan!” ku rasakan keheningan sesaat yang timbul atas pintaku barusan.
Aku berdiri perlahan. Kurasakan kakiku gemetar menopang ragaku yang separuh hampa. Kuhampiri Lasya yang terlihat ketakutan saat kudekati.
“Lu boleh ta-tampar gue kok, Fer. Gu-gue emang salah sama lu!” Lasya berkata terbata-bata.
Aku langsung memeluknya. Ia menangis dalam dekapanku. Demi Tuhan, aku sama sekali tak membencinya.
“Dimana Bondan?” tanyaku.“Dia dibawa Boma ke rumah sakit kota tadi pagi. Penyakitnya kambuh dan obat-obat yang dibawanya gak bisa menolongnya,” Yeni menjelaskan kepadaku.
Aku tersentak. “Apa?! Terus kenapa kalian masih di sini? Harusnya kalian ikut nemenin dan ngejaga dia ke rumah sakit, bukannya nungguin gue bangun! Kalian tahu dia lebih butuh kalian daripada gue!”
“Dia yang mohon sama kita untuk ngejagain lu, Fer. Dia ngomong hal yang sama seperti lu. Dia bilang, lu lebih butuh kita dari pada dia,” tutur Deni.
“Dia minta ini sebagai permintaan terakhirnya,” sambung Melisa.
Bond…! Aku harus menyusulnya secepat mungkin. Aku berlari keluar dari vila itu. Aku tahu Revand dan yang lainnya mengejarku, tapi aku tak mau tertangkap mereka lagi. Aku mengambil kunci mobilku yang tersimpan di dekat jendela depan, lantas ku segera pergi.


*


Hanya Bondan yang memenuhi pikiranku kali ini. Secepat mungkin aku mengemudikan mobilku. Aku yakin dia masih bertahan dan menungguku. Aku menagis ketika itu. Entah kenapa aku teringat akan semua kenanganku dengan Bondan. Saat pertama aku mengenalnya, memerhatikannya, menyanyanginya, hingga saat-saat aku memohon cintanya.
Aku tak sadar akan tikungan curam yang biasa kulalui dengan hati-hati itu sudah ada di depan mataku. Oh, Tuhan…! Aku tak mampu menghindarinya!!!!


*


Kudengar suara-suara bising di sekitarku, namun ku masih belum mampu membuka mataku.
“Klinik ini terlalu penuh menampung pasien yang terkena demam berdarah. Sebagian harus segera dialihkan ke rumah sakit kota, kecuali pasien yang baru mengalami kecelakaan ini. Ia harus ditangani disini. Saya khawatir ia bisa meninggal dalam perjalanan jika ikut dialihkan ke rumah sakit kota.”
Omongan pria itu benar-benar membuatku cemas. Aku tahu, pasti yang ia maksud tadi itu aku. Bagaimanapun juga aku harus sampai di rumah sakit kota. Aku membuka mataku sekuat tenaga yang tersisa di tubuhku dan mencoba untuk berbicara.
“Hhh…,” aku tak mampu berkata sesuatu. Ya, Tuhan…, berilah aku kekuatan kali ini. Aku mohon…!
“Pak, to-tolong bawa saya ke rumah sakit ko-kota…” suaraku begitu parau dan lirih. Semoga saja pria itu dapat mendengar dan mengerti yang ku ucapkan.
“Apa? Kamu sudah sadar?”
Aku mengangguk.
“Tadi saya dengar, kamu mau dipindahkan ke kota? Apa benar?”
Aku mengangguk kembali.
“Maaf, Dik! Kamu tidak bisa dipindahkan sekarang. Kondisi kamu tidak memungkinkan.”
“Saya mohon, Dokter! Ini permintaan saya yang terakhir…,” aku berusaha memelas.


*


Aku membuka mataku kembali. Seperti telah lama terlelap dalam mimpi yang buruk dan kelam. Namun ku tak menyangka siapa yang sedang kulihat sekarang.
“Bond…!” suaraku masih parau, tapi ku merasa jauh lebih baik. Aku tak peduli dimana aku berada sekarang, yang terpenting aku sudah bisa bertemu dengannya.
“Fer, lu pasti akan baik-baik aja!” ucapan itu yang bisa kutangkap dari banyaknya kalimat yang teman-temanku ucapkan.
Aku menatap mata Bondan yang meneteskan air mata untukku.
“Bond, gue cinta banget sama lu...”
“Gue juga, Fer. Gue cinta dan sayang banget sama lu!” balas Bondan.
Terima kasih, Tuhan! Kau memberiku kesempatan untuk mendengarkan hal seindah ini.
“Gue cinta sama lu, bond…!” ucapku lagi.
“Iya, Fer. Gue tahu… dan gue yakin akan itu.”
“Nggak, Bond. Biarin gue ngomong ini terus, gue mohon…!”
“Iya, Fer.”
“Gue cinta sama lu, Bond. Gue cinta lu, Bond…”
Aku melihat cahaya itu sudah tak sabar ingin membawaku pada-Nya. Hingga terakhir, hangat genggaman tanggan pria yang ku cintai tak mampu lagi kurasakan. Namun cintaku padanya tak pernah kubawa ke sana. Ia akan tetap menemani Bondan di dunianya hingga ia menempuh jalan yang sama denganku nanti.


*


“Bila Tuhan telah berkehendak, tiada satupun hal yang mampu menjadi alasan untuk menyangkal cinta. Sekalipun kematian. Karena tak seorangpun tahu kapan serta bagaimana cara Tuhan memanggil. Untuk apa membuang waktu yang sempit jika penyesalan sudah pasti adanya? Sedang hanya waktu yang sanggup menghidupi cinta apa adanya.”


-THE END-

No comments:

Post a Comment