Tuesday, February 1, 2011

C E R M I N ( part 1 )

Seseorang menatapku dari dalam bar. Kuperhatikan dia sejak tadi aku masih main. Kuurungkan niatku untuk pulang, walau sebenarnya aku ingin cepat bersantai di losmen busukku dan memandikan tubuhku dengan timbunan uang yang membebani seluruh kantung pakaianku. Aku menang malam ini.
Aku menghampiri orang itu lalu duduk di sampingnya. Sesaat pandangannya lepas dari mataku untuk beralih ke bibir botol minumannya. Dahinya berkerut saat mulutnya tak menerima tetesan yang cukup. Yang barusan itu adalah tetes penghabisan. Dia menatapku lagi.
Aku mengeluarkan segumpal uang dan kulemparkan ke wajahnya.
"Aku tak suka diperhatikan siapapun. Uang itu cukup untuk membuatmu mabuk hingga matamu berhenti melihatku,"
Dia tersenyum pahit meremehkan ucapanku. Lalu perlahan ia meraba-raba jaket usangnya. Mungkin dia hendak mengancamku dengan pistol murahannya. Aku sama sekali tidak takut.
Ternyata ia hanya mengeluarkan sebuah cermin kecil yang kotor seperti telah terkubur ribuan tahun.
"Pria tua gila! Pulanglah dan bersolek sepuasmu!" umpatku.
"Ini untukmu, agar kau bisa melihat siapa dirimu," ia menyodorkan cermin itu padaku lantas beranjak pergi dengan membawa uang yang kulemparkan padanya tadi.
"Tidak tahu diri! Menghinaku, lalu pergi membawa uangku," aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukannya.
"Aku tahu siapa diriku. Aku hanya pria tua yang tak punya uang lagi untuk membeli minum," jawabnya.
Buang-buang waktu aku menanggapinya. Aku melihatnya berbalik arah dan menghampiriku kembali. Aku sudah muak. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik pistolku dan kuarahkan tepat di depan keningnya.
"Bisakah kau terlihat cantik di cermin itu?" ucapnya lantas pergi lagi tanpa rasa takut, tak menghiraukan sedikitpun apa yang aku lakukan.
Aku menurunkan tanganku yang hampir menarik pelatuk besi pembunuh itu. Lalu kupikir, tak ada gunanya menghilangkan satu orang gila di bumi ini. Mungkin suatu saat aku membutuhkannya untuk memberi makan monster.
Aku mengambil cermin kecil itu dan memposisikannya tepat di wajahku. Sungguh menjijikan. Sisa tanah-tanah kering yang menempel seakan menodai kulit wajahku. Aku melempar cermin itu entah kemana.
Aku berlari keluar hendak menghabisi pria tua itu. Namun ia sudah tak terlihat. Aku lantas pulang ke losmen.
* * *
Aku adalah pembunuh tercantik. Semua orang mengakui itu. Sekotor apapun cermin yang kupakai, tak akan merubah kecantikan itu.
Aku bergegas bangun dari tempat tidurku. Lantas kucari sesuatu berbentuk perigi yang bisa kugunakan. Hanya coffee maker di atas lemari senjataku yang bisa kutangkap. Kuambil dan kubawa lari keluar. Sempat terjatuh saat menuruni tangga, untungnya tidak pecah. Sampai di luar, tak sulit menemukan apa yang kucari di lingkungan kumuh ini. Tanah becek yang berlumpur. Aku mendapatkannya. Lalu aku tak segan mengeruk lumpur kotor itu dan memindahkannya ke dalam coffee maker.
Kubawa sewadah penuh lumpur ke dalam kamarku. Lalu aku bercermin sesaat di cermin dinding. Kupandangi diriku dari ujung kaki hingga kepala. Aku mengagumi diriku layaknya pria-pria yang telah kuambil hidupnya.
"Baiklah pak tua, sebisa apakah lumpur ini merusak refleksiku?"
Aku melumuri cermin itu dengan seluruh lumpur yang kubawa. Perlahan lumpur itu pun bergerak turun ke bawah bagai lilin yang meleleh dan mengotori lantaiku.
Aku belum ingin melihat bagaimana refleksiku sekarang. Rasanya mata kepala ini enggan untuk melihat pemiliknya, sosok pembunuh tercantik dalam cermin kotor. Ketika aku membuka mata, aku sedikit kecewa melihat refleksiku tak cantik lagi.
Aku tak bisa terima. Kuhancurkan saja cermin itu dengan kepalan tanganku. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintuku dengan kasar. Aku membukanya.
"Kebodohan apa yang membimbingmu ke sini?" kata-kata itu seketika terlontar dari mulutku saat kudapati seorang pria tua tak tahu diri yang sempat membuatku melakukan hal-hal tak berguna seperti ini.
"Kemana kecantikanmu pergi, nona?" tanya pria itu tanpa basa-basi. Atau beginikah cara basa-basinya? Ia melangkah masuk dan duduk di kursi sudut.
"Masuk tanpa seijinku, sama halnya kau mengantar nyawamu."
Pria tua itu tak menggubrisku. Ia malah terkekeh-kekeh melihat cermin yang sebagian telah hancur olehku.
"Ha..ha..ha.Kau pasti benci melihat keburukanmu di cermin kotor itu."
"Kau tahu, kau memuakkan! Aku bisa menghentikan tawa dan aliran darahmu dalam enam detik."
"Tenanglah, Sam,"
Sial, darimana ia tahu namaku?!
"Samara. Ya, itu nama kecilmu. Bukan salahmu tentang keburukan yang kau lihat di cermin itu. Cermin itu yang kotor, bisa merubah keindahan menjadi keburukan." Ia mengoceh sendiri.
"Ungkapan yang tk begitu buruk untuk mengakui kecantikanku. Tapi sayang, itu tak menyelamatkanmu. Aku tetap akan membunuhmu,"
"Cermin itu bukan apa-apa, tak sebanding dengan cermin-cermin kotor yang mengelilingimu sekarang," ujarnya. Lantas ia melangkah ke depan cermin itu. "Rupa buruk yang kau lihat, itu kesalahan cermin. Tapi sebuah cermin kotor tak akan menutupi kecantikan sejati," ucapannya terhenti sejenak. Setelah menghela nafas, ia melanjutkan kembali, "Ibumu pasti menginginkan kau tetap cantik di hadapan cermin apapun."
"Kau terlalu banyak bicara. Aku semakin berhasrat membunuhmu.” Aku muak dengan ucapannya yang seolah lama mengenalku.
Masih tak ada perubahan pada mimiknya yang menggambarkan ia menggubris ancamanku.
"Kehilangan kepercayaan, kehidupan dunia hina, godaan membunuh, ketakutanmu, penantian pada ayah dan ibu, seharusnya tak menjadikanmu hitam. Karena kau terlahir dari rahim suci Issabela."

2 comments: